IMAM HARYONO SITE

PRIVAT BLOG (MASIH DALAM STATUS PERCOBAAN)

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Bekasi, Jawa Barat, Indonesia

Rabu, 07 Mei 2008

ETIKA KERJA DI PERUSAHAAN


Etika Kerja, merupakan sistem nilai atau norma yang dianut oleh setiap insan PERUSAHAAN termasuk pimpinannya dalam melaksanakan tugas sehari-hari yang antara lain termasuk etika hubungan antar karyawan dan perusahaan.

Dalam menjalankan tugas, seluruh insan PERUSAHAAN berkeyakinan bahwa untuk menciptakan lingkungan kerja yang harmonis, saling percaya, inovatif, peduli, penuh semangat, maka perlu :
Memiliki dan mengamalkan Nilai-nilai PERUSAHAAN yang TEPAT ( Tumbuh, Etika, Profesional, Akuntabilitas, Integritas ) diimplementasikan dengan melaksanakan ”Paradigma” PERUSAHAAN dalam kehidupan sehari-hari berupa :
· Kami ada karena peserta, kepuasan peserta dipenuhi melalui optimalisasi nilai manfaat dan pelayanan yang prima.
· Karyawan adalah aset perusahaan dituntut kepemimpinannya hingga mampu menjadi panutan dan motivator, selalu proaktif dalam mengembangkan karyawan.
· Setiap kegiatan usaha harus menghasilkan nilai tambah, penilaian dan kompensasi terhadap karyawan diberikan atas dasar kompensasi dan kinerja, bukan atas dasar senioritas.
· Pengelolaan perusahaan mengacu pada ”Best Practice”, keputusan usaha serta pemecahan masalah diambil dengan cepat berdasarkan data/fakta yang akurat.
· Teknologi merupakan tuntutan, harus dibangun dan dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas kerja dan keunggulan kompetitif.
· Perusahaan hidup dari iuran, dana harus dihimpun dan dikelola secara optimal untuk meningkatkan nilai manfaat.
· Pertumbuhan usaha mutlak diperlukan, hubungan dilaksanakan secara berkesinambungan untuk memenuhi tuntutan para pihak yang berkepentingan (stakeholders), termasuk membangun hubungan yang efektif dengan masyarakat dan lingkungan.

Disamping itu seorang pemimpin harus :
· Mengajak semua karyawan memberikan kontribusi terbaik untuk ikut mewujudkan hari-hari yang indah bagi peserta.
· Memper­lakukan dan melayani karyawan sebagai rekan kerja yang setara, sehingga Karyawan dapat memberikan kontribusi terbaik bagi perusahaan.
· Karyawan harus mendapat peluang dan perlakuan yang sama untuk maju dan berkembang.
· Meyakinkan Karyawan tentang pentingnya membangun kerja sama secara terpadu guna mencapai hasil terbaik dan melindungi kepentingan bersama.
· Menghargai dan memberikan perhatian terhadap kontribusi dan prestasi karyawan, sehingga dapat membangkitkan dan menjaga gairah kerja untuk menghasilkan kinerja yang bermakna.
· Mengajak karyawan untuk bersikap dan berperilaku profesional sesuai tata nilai PERUSAHAAN, dimulai dengan contoh dari atasan.

A. Etika Pimpinan
Pimpinan PERUSAHAAN berkewajiban
1. Mengembangkan iklim kerja yang saling meng­hargai, percaya, berbagi rasa, dan saling mendukung, sehingga terjadi kerja sama terpadu.
2. Menciptakan suasana kerja yang sehat dengan didasari hubungan yang tulus dan itikad yang baik dalam lingkungan kerja yang bersih, indah dan rapi.
3. Mengembangkan iklim kerja yang membuat karyawan mampu mengantisipasi perubahan, menumbuhkan keyakinan untuk mewu­judkan masa depan bersama yang lebih baik.
4. Melakukan koordinasi dan meningkatkan hubungan yang harmonis antar unit kerja untuk kelancaran pelaksanaan tugas.
5. Memiliki kejujuran, loyalitas dan dedikasi yang tinggi untuk kepentingan dan kemajuan perusahaan.
6. Menghormati hak dan kewajiban karyawan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
7. Memperlakukan Karyawan:
a. Sebagai rekan kerja yang setara, terhormat, dan bermartabat;
b. Secara non-diskriminatif dan tanpa pilih kasih;
c. Sebagai orang dewasa yang mampu belajar, bekerja ber­kembang dan bertanggung jawab;
8. Mengembangkan sua­sana kerja yang sopan, sabar, manusiawi, mudah dan sederhana dengan cara:
a. Membangun dan mengembangkan interaksi dan komunikasi profesional dengan karyawan dalam suasana akrab;
b. Tidak melakukan personalisasi terhadap sesuatu permasalahan yang terjadi;
c. Menangani secara obyektif dengan cepat, tegas, dan lugas terhadap kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan karyawan yang merugikan perusahaan sesuai kewenangannya;
d. Belajar dari setiap kesalahan dan pelanggaran dalam rangka mencegah peng­ulangan dan menemukan cara yang lebih baik di masa akan datang.
e. Menunjukkan kepedulian terhadap karyawan yang sedang mengalami permasalahan pribadi, tanpa melanggar privasi dari karyawan yang bersangkutan dan tidak merugikan perusa­haan;
9. Mengajak dan memberi contoh nyata kepada karyawan untuk:
a. Bersikap dan berperilaku ramah dan terbuka dalam per­gaulan profesional maupun sosial;
b. Lebih sering berinteraksi dan berkomuni­kasi secara informal dan akrab;
c. Saling berbagi pengetahuan, informasi, dan pengalaman;
d. Menghargai pendapat dan gagasan yang berbeda:
e. Memberikan apresiasi secara tulus atas kontribusi dan keberhasilan yang dicapai karyawan;
f. Saling membantu dalam upaya mencari solusi terbaik atas permasalahan yang dihadapi di tempat kerja;
g. Menghargai sesama karyawan yang memiliki pendapat, sudut pandang, dan keyakinan yang berbeda dengan dirinya;
h. Tidak melecehkan atau merendahkan harga diri sendiri maupun karyawan lain;
i. Menunjukkan ketabahan dan daya tahan pada waktu menghadapi permasalahan serius di tempat kerja;
j. Berani mengakui kesalahan dihadapan karyawan.
10. Meyakinkan dan me­nunjukkan kepada karyawan melalui perilaku nyata bahwa dirinya adalah :
a. Dapat diandalkan untuk membantu karyawan mencari solusi dari permasalahan di tempat kerja;
b. Pendengar yang penuh perhatian dan meng­hargai pendapat karyawan;
c. Dapat memberikan arah dan pegangan kepada karyawan yang menghadapi situasi tidak kondusif di tempat kerja;
d. Dapat menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan diri karyawan dan perusahaan;
e. Toleran dan memberikan ruang bagi kesalahan yang jujur agar karyawan dapat belajar dari kesalahan tersebut.
11. Menggairahkan suasana kerja dengan menstimulasi pemikiran karyawan secara intelektual dengan memberikan pe­luang untuk:
a. Mengajukan gagasan dan pendapat secara terbuka yang dapat dipahami maknanya oleh karyawan lain;
b. Saling berbagi pengetahuan, informasi;
c. Belajar secara konstruktif dari kesalahan, kegagalan, maupun keberhasilan sendiri dan atau pihak lain;
d. Menahan diri untuk tidak mendominasi pembicaraan dengan karyawan.
12. Menjadi sumber inspi­rasi dan motivator bagi karyawan dengan cara:
a. Menunjukkan kerja terbaiknya yang bernilai-guna, dan bermakna secara berkesi­nambungan;
b. Menyadarkan karyawan bahwa masa depan yang dicita-citakannya adalah masa depan bersama dengan menunjukkan integritas, daya tahan, dan persistensi;
c. Secara konsisten menunjukkan komitmen untuk memajukan perusahaan.
d. Menunjukkan kesetiakawanan kepada karyawan dan tidak menghindar dari tanggungjawab, terutama pada waktu menghadapi tantangan, kesulitan, dan kondisi kritis.
13. Membangkitkan inspi­rasi karyawan dengan cara:
a. Meyakinkan karyawan bahwa mengem­bangkan karir di lingkungan PERUSAHAAN adalah pilihan terbaik;
b. Meyakinkan karyawan bahwa kesejahteraan karyawan ditentukan oleh kerja keras;
c. Meyakinkan semua karyawan memiliki peluang untuk maju bersama perusahaan;
d. Menunjukkan apresiasi dan menghargai setiap kontribusi dan sukses yang dihasilkan karyawan;
e. Memberikan komitmen, dukungan, serta menyediakan sumber daya yang diperlukan secara tepat waktu untuk memungkinkan karyawan bekerja optimal.
14. Membangun dan me­melihara suasana keterbukaan dan keakraban di lingkungan kerja agar karyawan tetap optimis da­lam menghadapi perubahan dan tantangan kerja yang terus meningkat.
15. Membuktikan bahwa di­rinya pantas dijadikan panutan dengan menunjukkan keahliannya dalam menangani tugas dan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya serta tidak melemparkan tanggung jawab kepada pihak lain.
16. Menjaga citra dan wiba­wa dengan :
a. Menghindari penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan;
b. Menghindari membicarakan hal­-hal negatif tentang karyawan;
c. Tidak memberikan tugas kepada karyawan yang berdampak mengorbankan hak karyawan bersang­kutan dan atau orang lain.


B. Etika Karyawan terhadap Pimpinan
Karyawan PERUSAHAAN berkewajiban
1. Membiasakan diri untuk mengembangkan saling pengertian dengan pimpinannya, baik melalui komunikasi formal maupun informal, serta berinteraksi secara terbuka, tulus dan santun.
2. Menunjukkan kepada pimpinannya untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama dengan cara:
a. Menghargai, memahami arahan dan bimbingan pimpinan serta menjadi tindakan nyata;
b. Menunjukkan tanggung jawab terhadap perilaku dan tindakannya;
c. Menjalankan peran dan fungsinya sesuai arahan serta bimbingan pimpinannya dengan santun;
d. Menunjukkan solidaritas tinggi dengan tetap menjaga kebebasan untuk memberikan kritik yang konstruktif;
e. Memberi pertimbangan konstruktif kepada pimpinannya bagi penyempurnaan tujuan bersama.

3. Mengembang­kan suasana kerja yang kondusif dengan cara:
a. Mendengarkan, menghargai, dan menang­gapi secara positif pendapat dan gagasan yang berbeda;
b. Bekerja sama dengan pimpinannya;
c. Menumbuhkan rasa ingin tahu dan sema­ngat inovasi.
d. Menunjukkan sikap optimis dalam menghadapi setiap tantangan dan perubahan;
5. Menunjukkan kepedulian yang tinggi dan kesediaan yang tulus untuk membantu pimpinannya yang sedang menghadapi permasalahan tanpa mengganggu pri­vasinya.
6. Menghargai pimpinannya dengan cara:
a. Memberikan kontribusi maksimal untuk mencapai tujuan.
b. Menjaga agar perbedaan pendapat atau per­selisihan yang terjadi diantara karyawan dapat diselesaikan oleh karyawan sendiri;
c. Menghargai semua bantuan, dukungan, dan bimbingan pimpinannya.

7. Menunjukkan rasa tang­gung jawab profesional dengan :
a. Menjaga dan memelihara lingkungan kerja­nya tetap bersih, tertib, dan teratur;
b. Menggunakan sumber daya perusahaan se­cara hemat, efektif, dan efisien;
c. Tidak menggunakan sumber daya perusa­haan untuk kepentingan pribadi;
d. Tetap menjaga rahasia perusahaan.

C. Etika Sesama Karyawan
Sesama karyawan harus :
Membangkitkan semangat karyawan lain untuk pe­ngembangan diri;
Menjaga rasa kebersamaan yang dilandasi kesadaran untuk mencapai cita-cita bersama, serta setiap karyawan memiliki kesempatan yang sama untuk berperan-serta dan berkembang.
Mengembangkan iklim kerja profesional, terbuka, apresiatif di lingkungan unit kerjanya, dengan tetap men­jaga suasana kekeluargaan yang tulus.
Mengembangkan dan menjaga semangat pembaharuan yang dijalan­kan melalui proses berbagi informasi, pengetahuan, pengalaman, dan gagasan.
Mengembangkan sema­ngat dengan mengutamakan kepentingan perusahaan.
Saling mengingatkan dalam melaksanakan tugas dan bersedia menerima nasihat serta kritik untuk memperbaiki kinerja individu maupun perusahaan.
Mengutamakan pengambilan keputusan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
Mengembangkan kebia­saan untuk:
a. Bertegur sapa diantara sesama mereka de­ngan cara yang santun dan ceria;
b. Berkomunikasi secara formal maupun infor­mal diantara sesama karyawan di tempat kerja maupun di luar tempat kerja;
c. Menghargai perbedaan pendapat dan saling mendukung pada waktu menangani tugas;
d. Menghargai kontribusi dan bantuan yang diberikan karyawan lain;
e. Menumbuhkan kebiasaan untuk membang­kitkan semangat dan membantu karyawan lain dalam mengatasi permasalahan kerja;
f. Menunjukkan kepedulian terhadap pening­katan kualitas kerja;
Menghindarkan diri dari ucapan dan atau tindakan yang dirasakan sebagai pelecehan atau merendahkan martabat karyawan lain.
Saling menjaga serta saling melindungi privasi dan kepentingan sesama karyawan.
Karyawan berkewajiban memberikan tanggapan dan bantuan yang tulus kepada karyawan lain yang membutuhkan.
Karyawan berkewajiban memberi masukan dan menyampaikan gagasan yang obyektif.

D. Etika terhadap Tugas dan Jabatan
1. Mentaati peraturan yang berlaku.
2. Terus menerus berusaha meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dengan fasilitas yang disediakan perusahaan atau dengan usaha sendiri.
3. Mampu mengambil keputusan sesuai dengan kewenangannya dan berani menanggung resiko atas keputusan yang diambil.
4. Memiliki kewajiban dan bertanggung jawab terhadap fungsi dan perannya dalam pekerjaan.
5. Menguasai, menghayati dan mencintai tugas serta selalu berusaha meningkatkan mutu hasil kerjanya.
6. Berupaya dengan gigih dan pantang menyerah dalam mencapai target kinerja individu maupun perusahaan.
7. Bersikap sederhana, hemat, cermat dalam menggunakan sumber daya perusahaan.
8. Tidak boleh mencari keuntungan untuk diri sendiri atau orang lain melalui penyalahgunaan jabatan.
9. Bersedia mengakui kesalahan bila memang melakukannya dan tidak lari dari tanggung jawab.

E. Etika terhadap Perusahaan
Pimpinan/Karyawan berkewajiban :
1. Mengamankan asset perusahaan dan menggunakannya secara efisien dan efektif.
2. Menjual, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan asset perusahaan secara sah.
3. Menggunakan fasilitas kantor hanya untuk kepentingan Perusahaan.
4. Mengamankan informasi penting perusahaan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
· Tidak diijinkan menyampaikan informasi rahasia Perusahaan kepada siapapun yang tidak mempunyai kewenangan untuk mengetahuinya.
· Akses informasi hanya dapat dilakukan sesuai dengan kewenangan dan lingkup kerjanya.
5. Menyadari bahwa kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan sangat ditentukan oleh upaya yang dilaksanakan saat ini.
6. Senantiasa berusaha menemukan sistem kerja yang terbaik serta mampu melihat kemungkinan cara-cara lain yang lebih baik untuk kepentingan perusahaan.
7. Mengupayakan agar semua aktivitas perusahaan berhasil guna dan berdaya guna.




F. Etika terhadap Peraturan dan Norma
Pimpinan/Karyawan berkewajiban :
1. Tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.
2. Senantiasa menjunjung tinggi Peraturan perundangan dan norma perusahaan.
3. Menghindarkan diri dari benturan kepentingan pribadi dengan kepentingan perusahaan.
4. Menolak imbalan atau hadiah dari pihak lain yang ada hubungannya dengan keputusan yang diambil dalam pelaksanaan tugasnya
5. Memberikan pelayanan dan transaksi usaha yang bermanfaat dan menguntungkan bagi peserta.
6. Dilarang bekerja untuk perusahaan lain, kecuali dengan penugasan tertulis dari perusahaan.
Tidak diizinkan menjadi anggota, pimpinan, aktivis dalam partai-partai politik.

G. Etika terhadap Peserta
Pimpinan/Karyawan berkewajiban :
1. Memelihara kepercayaan peserta melalui hubungan yang baik dan senantiasa meningkatkan kepuasan peserta melalui peningkatan kualitas pelayanan.
2. Memberikan informasi kepada peserta yang ber­kaitan dengan pelayanan perusahaan secara adil, cepat, lengkap, dan akurat.
3. Menghargai dan mem­berikan apresiasi yang tulus kepada peserta.

H. Etika terhadap lingkungan kerja
Pimpinan/Karyawan berkewajiban :
1. Menjaga dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat, bersih, indah dan rapi.
2. Menghindari pemakaian, mengedarkan dan menjual obat terlarang.
3. Menghindari membawa senjata api/tajam atau alat lain yang dapat dipergunakan untuk melakukan ancaman dan tindak kekerasan dilingkungan kerja.
4. Mengetahui prosedur dan metode penyelamatan dari kebakaran yang telah disediakan.

Training Berbasis Kompetensi

Training berbasis kompetensi kini menjadi kiblat perusahaan modern. Training ini diharapkan menghasilkan karyawan berkualitas dengan kinerja terus meningkat. Beberapa perusahaan bahkan menerapkan training level-5, dimana Return on Investment (ROI) program training juga diukur. Hanya saja upaya menerapkannya tidaklah mudah.
Salah satu ciri organisasi modern dan profesional adalah sejauh mana ia menerapkan manajemen sumberdaya manusia berbasis kompetensi (Competency Based Human Resources Management/CBHRM). Kompetensi kini menjadi acuan dan dasar bagi manajemen perusahaan di dalam mengelola human capital-nya, mulai dari proses rekrutmen/seleksi, manajemen kinerja, training dan pengembangan, manajemen karyawan potensial (talent), hingga retensi dan remunerasi. Rubrik Fokus kali ini mengupas salah satu aspek penting CBHRM, yakni training berbasis kompetensi (Competency Based Training).
Implementasi training berbasis kompetensi tentunya harus dimulai dengan penyusunan peta kompetensi yang dibutuhkan perusahaan. Tidak mungkin perusahaan mengembangkan training berbasis kompetensi tanpa didahului dengan penyusunan peta kompetensi tersebut. Dari peta kompetensi yang diinginkan itu, perusahaan kemudian melakukan pemetaan kompetensi yang ada saat ini di seluruh bagian organisasi perusahaan. Di situ biasanya kelihatan gap kompetensi. "Gap ini harus diisi dengan melaksanakan pro-gram training berbasis kompetensi,” tutur Dr. AS Ruky, konsultan SDM dari Ruky R Rekan Consulting, dan mantan Direktur Indofood, Semen Cibinong, dan Mercedes-Benz Indonesia.
Banyak definisi tentang kompetensi yang disampaikan para ahli. Dr. Lyle M. Spencer, Jr. dan Signe M. Spencer, penulis buku terkenal”Competencies at Work, Models for Superior Performance, mengatakan kompetensi adalah karakteristik dasar dari seseorang yang membuatnya bisa menghasilkan kinerja efektif dan/atau kinerja superior dalam sebuah pekerjaan atau situasi. Karakteristik dasar mengindikasikan perilaku dalam berbagai situasi dan bertahan untuk jangka waktu yang lama.
Namun secara sederhana, kompetensi sering didefinisikan Sebagai kombinasi pengetahuan (knowledge), keahlian (skill), dan kebiasaan (ability) yang mempengaruhi kinerja kerja. Dengan demikian, kompetensi tidak berhubungan secara langsung dengan kemampuan intelektual (IQ), tetapi lebih banyak terkait dengan perilaku (behavior). Perilaku orang-orang yang kompeten dengan tidak kompeten akan mudah untuk dibedakan. Maka, bila perusahaan Anda lebih mementingkan aspek perilaku saat menilai orang daripada IQ (saat rekrutmen maupun Assessment Center, misalnya), itu berarti perusahaan Anda sudah memiliki fondasi manajemen berbasis kompetensi.
Dalam istilah Sintawati Putri, Senior Consultant PT Daya Dimensi Indonesia (DDI), peta kompetensi itu adalah profil kompetensi, yakni jenis perilaku yang diharapkan untuk setiap jenis kompetensi. Banyaknya jenis kompetensi dan rumitnya organisasi perusahaan menyebabkan pengembangan kompetensi di sebuah perusahaan memerlukan waktu lama dan biaya cukup besar. “Itu sebabnya, pcrusahaan yang sudah mulai melangkah dalam tahap awal pengembangan kompetensi biasanya semakin tergerak untuk melangkah ke tahap lebih lanjut, termasuk dalam bidang training,” ungkapnya.
Mengisi Gap Kompetensi
Gap kompetensi menjadi acuan sejauh mana dan seberapa banyak program training harus dilakukan. Semakin besar gap tersebut, maka upaya training harus semakin besar pula. Program training tersebut, menurut Chief Manager Training I Development Division BCA (BCA Learning Center) Michael Adryanto, harus disesuaikan dengan strategi perusahaan. Ini merupakan wujud nyata dari penyelarasan (alignment) manajemen sumberdaya manusia dengan strategi bisnis perusahaan.
Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir pasca krisis ekonomi, strategi bisnis BCA terfokus kepada pengembangan bidang perkreditan, karena selama ini BCA tidak banyak menyalurkan kredit seperti dilakukan bank lain. Saat masih dimiliki Salim Group, BCA banyak menjalankan usaha menghimpun dana masyarakat sebanyak-banyaknya dan menjadi transactional bank. Sumber utama BCA adalah pendapatan berbasis fee (fee based income), dan setelah krisis ditambah dengan bunga obligasi rekap.
Kondisi ini menyebabkan Loan to Deposit Ratio (LDR) BCA sangat rendah, dan belakangan berdampak pula pada profitabilitas. Laba bersih BCA dengan aset yang jauh lebih besar kalah dibandingkan dengan Bank Danamon. BCA menyadari hal ini, dan berupaya mengembangkan bidang perkreditan tersebut secara sungguh-sungguh dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 1999, total kredit BCA baru sekitar Rp 3 triliun, sedangkan dana pihak ketiganya Rp 40 triliun lebih. Per Desember 2004, outstanding kredit BCA sudah mencapai Rp. 40,6 triliun dengan total dana pihak ketiga Rp 130 triliun lebih. LDR-nya baru 31%, masih jauh dari ketentuan ideal 70%-75%. ”Tetapi, itu sudah merupakan sebuah loncatan yang luar biasa cepat,” kata Michael.
Maka, program training untuk meningkatkan kompetensi perkreditan masih akan terus dijalankan BCA dalam beberapa tahun ke depan, kendati kompetensi lainnya juga tidak dilupakan. Sebagai contoh, tak kurang dari 26 materi training tersedia dalam Program Reguler selama 2005 di bidang kredit dan pemasaran. Mulai dari dasar-dasar kredit hingga manajemen risiko kredit dan pencegahan/ penyelesaian kredit bermasalah. Total 12.528 student days. Selain bidang kredit & pemasaran, training juga diselenggarakan di bidang operasional (5.671 student days) dan manajemen/pengembangan diri (7.029 student days).
Berbeda dengan Program Reguler, dalam kategori berikutnya (Program Divisi) fokus training malah lebih banyak dalam aspek operasional (22.256 student days) dibandingkan aspek kredit dan pemasaran (5.904 student days), manajemen/pengembangan diri (1.459 student days), dan servis (1.683 student days).
Training berbasis kompetensi mencakup hard/technical competencies dan soft competencies. Kompetensi teknikal relatif mudah diajarkan ketimbang soft competencies karena bersifat baku, kuantitatif, dan mudah diukur serta dirasakan. Lain halnya dengan soft competencies seperti motivasi, perilaicu, kepemimpinan, integritas, kemampuan analisis, dan sejenisnya. Soft competencies juga sangat tergantung dari nilai dan budaya perusahaan. Kebanyakan perusahaan perbankan mengutamakan nilai-nilai kejujuran atau integritas “Di BCA itu nomor satu,” kata Michael, sambil menambahkan, "Lebih baik kami merekrut orang yang tidak terlalu pintar tetapi jujur daripada orang pintar namun tidak jujur."
Lyle M.Spencer dan Signe N. Spencer menegaskan bahwa kompetensi bisa diajarkan. Studi menunjukkan bahwa kompetensi tersulit pun bisa diajarkan, seperti kompetensi motivasi (orientasi) dan sifat bawaan macam percaya diri (selalu optimistis, mampu mengendalikan emosi/stres, tidak takut gagal, dan konsep diri). Para ahli meyakini bahwa untuk sukses mendesain sebuah program pembelajaran diperlukan 6 langkah: pengakuan, pemahaman, asesmen pribadi, praktik keahlian, aplikasi pekerjaan, dan dukungan tindak lanjut.
Langkah pertama (pengakuan) bertujuan agar peserta yakin bahwa kompetensi yang akan diajarkan ada dan penting untuk bisa menjalankan pekerjaan dengan baik. Langkah kedua (pemahaman di mana peserta diajarkan tentang kompetensi baru dan bagaimana mempraktikkannya. Langkah ketiga (asesmen pribadi) memberikan kesempatan kepada peserta untuk menilai kompetensinya dibandingkan dengan orang yang dianggap memiliki kinerja superior.
Langkah keempat (praktik keahlian), peserta mempraktikkan apa yang dipelajari dalam simulasi sebenarnya, dan mengetahui perbedaan kompetensi mereka dengan kompetensi superior, Langkah kelima (aplikasi pekerjaan), peserta menyusun target/tujuan dan rencana aksi bagaimana mereka memanfaatkan kompetensi itu dalam pekerjaan sebenarnya. Adanya penyusunan tujuan tersebut meningkatkan pencapaian dari 5%-20% menjadi 60%-70%. Produktivitas pun ikut naik. Langkah keenam (dukungan tindak lanjut) adalah dengan berbagi informasi dengan pihak lain (termasuk supervisor) tentang pemanfaatan kompetensi tersebut.
John Raven, penulis buku Education, Values, and Society: the Objective of Education and the Nature and Development of Competence, pernah mengatakan bahwa pendidikan berbasis kompetensi terhambat oleh sulitnya mengevaluasi atau mengukur kompetensi yang telah dipelajari. Keluhan semacam ini kini semakin jarang ditemukan. American Management Association menggunakan 3 kriteria untuk mengukur kompetensi: tes kinerja tertentu, demonstrasi kompetensi dalam simulasi Assessment Center, dan dokumentasi kinerja dalam pekerjaan.
Studi evaluasi terhadap training berbasis kompetensi menunjukkan terjadinya perubahan perilaku dan memberikan nilai tambah bagi organisasi. M.J. Burke dan R.R. Day dalam tulisannya yang dimuat dalam Journal of Applied Psychology mengungkapkan, training berbasis kompetensi bisa menaikkan produktivitas 29%-32%. Namun manfaat utama, sejatinya, adalah kenaikan kinerja. Kecuali itu, training berbasis kompetensi bisa memperpendek kurva belajar orang-orang baru. Seorang profesional baru direkrut rata-rata butuh setahun untuk benar-benar produktif (berdasarkan kinerja rata-rata dari tenaga berpengalaman). Karena training berbasis kompetensi dilaksanakan berdasarkan perilaku orang dengan kinerja superior, maka kurva belajar rekrutmen baru lebih pendek sepertiga hingga setengah kali dari format standar – plus kinerja rata-rata yang lebih tinggi.
Butuh Komitmen Pimpinan
PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) telah menerapkan CBHRM semenjak tahun 1998 sehingga telah memiliki matriks kompetensi. Gap kompetensi karyawan dengan matriks itu menjadi dasar pelaksanaan training. Menurut Wahyudin Yudiana Ardiwinata, Presiden Direktur CPI, perusahaannya melakukan analisis kebutuhan training sebelum menyusun program training. Program training berbasis kompetensi itu disiapkan sesuai dengan jenis pekerjaannya:teknisi, operator/administrasi, profesional, dan bagi pemimpin yang dinamis. Khusus untuk pemimpin, CPI memiliki Behavior Competencies for Leader. “Training kompetensi untuk pemimpin diarahkan untuk mewujudkan perilaku pemimpin sesuai dengan nilai-nilai perusahaan atau Chevron Way,” ungkapnya.
Pengukuran efektivitas dari training berbasis kompetensi dewasa ini banyak memanfaatkan konsep training level 4 hingga level 5. Level 1 menyangkut reaksi peserta terhadap program training, tertarik atau tidak. Pengukurannya dilakukan langsung di bagian akhir training. Level 2 pemahaman terhadap apa yang dipelajari. Evaluasi bisa dilakukan berupa pretest maupun posttest. Level 3 perubahan perilaku. Setelah reaksinya positif, paham, maka level berikutnya harus dievaluasi apakah terjadi perubahan perilaku di tempat kerja. Evaluasi dilakukan 6 bulan sampai setahun setelah ia kembali ke tempat kerja. Level 4 kinerja, apakah kinerjanya membaik. Penilaian bisa dilakukan atasan maupun rekan kerja. Beberapa perusahaan, bahkan mulai mengukur hingga level 5, yaitu seberapa signifikan kenaikan kinerja kuantitatif (Return on Investment/ROI).
PT Tetra Pak, misalnya, membagi evaluasi ke dalam dua bagian, yaitu potential evaluation (potensi atau kemampuan seorang karyawan secara keseluruhan) dan individual objective (lebih menitikberatkan pada pencapaian target individu). Untuk menghilangkan objektifitas penilaian, menurut Yodi Effendi, HR Director Tetra Pak, pihaknya meminta setiap hal terkait evaluasi efektifitas training harus ada penjelasannya. “Sebab, ada kalanya materi yang diberikan kepada karyawan tidak sesuai dengan kebutuhan karyawan,” tukasnya.
SCS Astragraphia Technologies juga memiliki mekanisme evaluasi melalui 2 jalur: Individual Development Plan (IPP) yang menekankan pada job target dan Annual Performance Review (APR) yang fokus pada perilaku agar bisa mencapai job target. Triharry Darmawan Oetji, Head of HR Development, mengemukakan alat ukur lainnya adalah Human Asset Value Mapping (HAVM), yang membandingkan kompetensi seseorang dengan kinerjanya. “Belum tentu keduanya sejalan,” katanya.
Evaluasi tidak hanya diperlukan terhadap individu yang mengikuti training, tetapi diperlukan pula terhadap program training itu sendiri. Bila kompetensinya tidak tercermin dalam kinerja, maka kesalahan bisa saja terjadi terhadap program training itu sendiri. Jamaknya evaluasi itu dilakukan setahun sekali. Apakah training tetap diteruskan, dihentikan, atau diteruskan dengan catatan sangat tergantung dari hasil evaluasi tersebut.
Tidak semua perusahaan mewajibkan karyawannya untuk mengikuti setiap training kompetensi. Kebanyakan perusahaan multinasional menyerahkan sepenuhnya pilihan training kepada karyawan sesuai kebutuhannya. “Saya tinggal mengakses program training yang disediakan Oracle melalui program e-learning,” tutur Diski Naim, Senior Consultant Oracle Indonesia. Hal yang sama terjadi di HP Indonesia, Tetra Pak, SAP, dan sebagainya.
Tersedianya fasilitas e-learning sangat membantu proses training dan pembelajaran individu, meskipun banyak perusahaan Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan potensi e-learning tersebut. Mayoritas perusahaan lokal baru memanfaatkan potensi e-learning untuk training aspek teknis, belum banyak menyentuh aspek soft competencies. “Tetapi ini soal waktu saja,” kata Felicianus Manurur, VP Department Head Training Program Design Bank Mandiri, beberapa waktu lalu.
Dalam menyusun program training berbasis kompetensi, perusahaan bisa saja melibatkan pihak konsultan. Idealnya hal tersebut tidak diserahkan sepenuhnya kepada konsultan. Bagaimanapun yang paling tahu nilai-nilai, perilaku, dan kompetensi yang dibutuhkan perusahaan adalah kalangan internal perusahaan. Ini yang dilakukan BCA. Beberapa program training yang sifatnya non-teknis dibeli dari perusahaan untuk diterapkan sendiri. Ada juga program training soft competencies disusun bekerjasama dengan konsultan teman-teman langsung dibawakan oleh konsultan tersebut. Kepada sang konsultan, BCA mengajukan kebutuhannya, dan konsultan nanti akan datang dengan materi training. Proses pemantapan materi bisa berlangsung hingga 3 bulan.
Keberhasilan implementasi training berbasis kompetensi – sama seperti penerapan program berbasis kompetensi lainnya – sangat ditentukan oleh tersedianya dukungan penuh dari jajaran pimpinan perusahaan. Tanpa komitmen penuh dari jajaran pimpinan, training berbasis kompetensi sulit untuk berhasil. Selain karena membutuhkan biaya lumayan besar dan butuh waktu, para pimpinan berperan aktif menilai kompetensi bawahan dan mau menyediakan waktu untuk memilih program training yang sebaiknya diambil bawahan tersebut.
Selepas training, para pimpinan juga harus ikut melakukan evaluasi seberapa efektif dampak dari program training tersebut terhadap karyawan. Ini sejalan dengan salah satu fungsi utama dari pemimpin: memberdayakan dan mengembangkan bawahan. Pada tahap berikutnya, training berbasis kompetensi harus tercermin pula pada program pengembangan, sistem promosi, dan kompensasi perusahaan. Kalau tidak, efek dari training tidak berusia lama dan karyawan yang kompeten akan cenderung cepat berpindah kerja. Sayang, kan?